Friday, May 30, 2008

Pilihan

Bila kita akan membuat program, dalam kondisi kekinian Indonesia, manakah yang kita pilih: pemberdayaan atau santunan? Dua-duanya tentu pilihan bijak.

Tapi kalau anda hanya punya satu pilihan, manakah pilihan kita? Hmmm ….

Katakanlah ada donatur yang bersedia membiayai satu program. Bagaimana pilihan kita bila ternyata dia sudah menentukan pilihannya – misalkan pemberdayaan? Bila ternyata kita tengah fokuskan semua sumberdaya pada program santunan, apa pilihan kita?

Gambar diatas adalah contoh kerumitan yang harus kita hadapi selaku ‘middle man’. Seberapapun besar organisasi kita, kompleksitas tugas kita tidak berhenti. Sunatullahnya, kompleksitas bergerak seiring perkembangan organisasi.

Disatu sisi, kita butuh dana. Dan dalam contoh ekstrim diatas, donatur itu bak durian runtuh. Namun disisi lain, tidak semua kita selalu siap untuk semua kesempatan. Maksudnya kita tetap punya keterbatasan, entah SDM, waktu, peralatan, dana pendukung atau bahkan karena skala prioritas

Ketika menerima, kita sejatinya sedang memaksakan diri. Upaya keras adalah keharusan, tetapi memaksakan diri adalah hal yang sama kali berbeda. Kita sedang memperlebar medan pertempuran yang kita sadar kita tidak cukup punya daya dukung. Kita lebih kepada berharap Allah memudahkan semuanya.

Ketika menolak, kita dihadapkan pada resiko donatur melihat kita dari sisi lain, kita menolak ujian yang mungkin Allah jadikan pintu pembuka kesempatan lainnya. Dapat juga kita berhadapan dengan perbedaan internal.

Dalam banyak kejadian, dilema itu kita rasakan. Contoh pada saya: mustahik tetap menuntut bantuan lengkap a-z (santunan), sementara saya melihat solusi jangka panjang adalah bantuan terbatas + pemberdayaan. Serba salah. Dibantu, saya tak membantu dia lepas dari jerat masalah, dipaksakan dengan pendekatan saya, program akan tidak berjalan maksimal. Hasilnya sama.

Apa yang bisa kita kerjakan? Lakukan apa yang perlu kita lakukan. Pedomannya adalah tujuan. Dari sisi tujuan, manakah yang lebih mungkin mengantarkan kita. Semua ada resikonya, tapi konsensus internal seharusnya cukup meminimalkan resiko.

Idealisme harus ada, tapi dia dihati. Perhitungan matang adalah wilayah kerja otak. Ketiadaan salah satu atau penempatan yang salah membuka masalah yang tidak perlu.

Dalam contoh mustahiq diatas, saya memilih untuk memberikan bantuan terbatas. Dia memilih untuk meledakkan emosi atas keputusan saya. Resikonya: suara sumbang datang seperti lebah. Saya memilih tetap dengan keputusan saya. 2-3 kemudian istrinya menelpon untuk mengetahui cara mengambil bantuan terbatas. Sementara itu, pilihan pemberdayaan saya biarkan tetap terbuka, siapa tahu malaikat Allah datang mengetuk pintu esok pagi.

Tidak ada nikmatnya sama sekali menolak permohonan mustahiq, tak ada kenikmatan sama sekali menolak kesempatan. Tapi otak adalah wilayah analisa, bukan rasa kasihan. Dan fitrah manusia tidak akan pernah koyak oleh ulah keduanya.

Nilai kita ada keberanian memilih, bukan keberhasilan memilih pilihan yang benar, karena menentukan pilihan sudah merupakan sebuah kebenaran.

Akhee Herdie, Mbak Donna
Terima kasih untuk semuanya, untuk kesempatannya. Pilihan harus dan sudah diambil. Sejatinya hidup adalah memilih pilihan.

Batam, Mei 2008

Monday, May 12, 2008

Makin sensitif yuk..

Apa tuh... sensitif ? Yang jelas bukan yang aneh-aneh. Tapi kepedulian kita sedang dipertaruhkan. Bayangkan, pemerintah negeri ini setelah 'menghilangkan' (baca : menggantikan ) minyak tanah, sebentar lagi akan menaikkan harga BBM. Memang masih debatable.. Tapi menutur saya yang paling logis adalah tidak naik. Bukankah negara harus melayani masyarakat ?

Teman-teman, abang, nona, mas, ukhti-akhi bapak sekalian telah berniat menjadi agent perubah sebagaimana tugas pendamping. Jadi kita harus paham dan peka terhadap kebijakan yang berpengaruh terhadap dampingan kita.

Bayangkan, masyarakat yang telah kita coba berdayakan dan hampir pada ujung kemandirian.. kemudian..... harus terkapar kembali karena kebijakan minyak tanah dan kenaikan BBM. Pedangang, tukang ojeg, bahkan karyawan dengangaji papas-pasan akan berfikir seribu kali untuk makan uenak.

Berbagi informasi, saya minggu tgl 11 mei 2008 mengukuti diskusi tentang 100 thn Kebangkitan yang diadakan oleh Pemda Kab Bogor dan dinas Pendidikan Kab Bogor yang bekerjasama dengan HTI. Salah satu pembicara nya adalah ibu Ri ni Saparini (anggota Tim Indonesia bangkit). Beliua cerita : Kebijakan Kenaikan BBM itu pemerintah mengasumsikan pendapatan masyarakat miskin minimal 1 jt (emang benar ya... orang miskin 1 juta pendapatan per bulan ?). Setelah mendapat subsdi BBM sebesar 100 rb, maka sesuai dengan kenaikan BBM maks 30%, hanya akan dipakai oleh orang miskin 40 rbuan. Jadi setiap bulan orang miskin surplus 50 rbuan (nabung)... benarkah ? Begitulah, kalo semua sektor strategis kita di jual kepada Asing..

Cukup dulu ceritanya... Ntar kita sambung lagi. Intinya, pasang telinga, mata, hati, untuk tidak lelah bekerja dan berdakwah di Masyarakat. Saya yakin.. teman-teman ahlinya.

Wassalam.

Ponco N (sang pendamping masyarakat)

Pendamping : Harus gunakan hati

Aww. Bu RW, ijin nongolya... Teman-teman dipenjuru angin surga. Saya kirim kisah seorang pendamping Masyarakat mandiri ketika harus mendampingi masyarakat. Semoga kisah ini dapat diambil ibrahnya. Oya, tulisan ini sudah pernah dimuat dalam buku yang diterbitkan DD judulnya kalo ndak salah pemberdayaan tiada henti. Salam.
Ponco Nugroho (Sang Pendamping Masyarakat)

UCUP BERUSAHA LAH

Ucup, begitulah panggilan lelaki umur 48 dari desa harkat Jaya Cigudeg, Bogor. Nama sebenarnya adalah Yusuf. Pria lulusan SMP ini tinggal bersama seorang istri, ibu mertua dan 5 orang anak yang usianya 8 – 13 tahun. Meskipun lulusan SMP ternyata ucup tidak memiliki perekrjaan selayaknya ijazah yang disandang, karena mayoritas warga di desa yang masih rawan tindak mkriminil ini adalah tidak sekolah dan lulus SD. Setiap hari istri ucup dan kelima anaknya bekerja sebagai pengembala kerbau milik tetangga demi mengharapkan 1-2 liter beras untuk dimakan hari itu.

Keluarga ucup tinggal disebuah gubuk bambu 6 x 7 m2 berlantai tanah. Anginpun engan masuk ke dalam rumah karena memang tidak menemukan lubang jendela. Ruangan didesain tanpa batas sedikitpun sehingga dari mana uucup berdiri maka seluruh ruangan dan aktivitas dlam rumah terlihati. Udara dalam rumah tidak bergerak, terkadang asap kayu bakar menyelimuti seluruh ruangan. Pengap dan lembab ditambah lampu yang ala kadarnya.

Apa yang dilakukan Ucup tiap hari ? rasa ingin tahu dari pendamping saat melintas didepan rumah yang sudah terlihat tua. Ucup lebih banyak hilir mudik antara rumah dan warung, untuk sekedar ngobrol sesekali meminta rokok dari warung dan teman diskusinya. Main karambol telah menjadi keahlian ucup karena hampir tiap hari diasah dan jumlah mobil yang pun mungkin dapat dihitung setiap hari dari warung langganannya.

Ucup, bukan sakit ingatan. Dia manusia normal tapi keperdulian kepada keluarganya jauh dari harapan masyarakat pada umumnya. Terkadang ada warga yang meminta ucup membersihkan kebun dengan upah Rp 8.000, dalam setengah hari. Apa yang diperbuat dengan uang hasil jerih payahnya ? Istri, anak dan ibu mertuanya hampir tidak pernah menikmati jerih payah kepala keluarga ini. Sehari bekerja, saat itu habis untuk membeli rokok dan menuruti kesenangan pribadinya. Wajar anak-anak ucup yang seharusnya sudah saatnya menikmati bermain di sekolahan dan belajar menulis namannya diatas kertas, semua masih buta huruf. Tiap hari harus membantu ibunya mengembala kerbau.

Suatu waktu, Ucup mendapat bantuan baik berupa uang, makanan, bahan sandang. Karena lulusanya dianggap tinggi oleh warga sekitar Ucup pun diikut sertakan dalam pembinaan keterampilan usaha warung dan pembuatan kripik pisang. Setelah menerima bantuan makanan dan sandang, anginpun seakan hendak berhenti karena ingin menyaksikan ucup memberikan nafkah kepada istri dan anaknya. Apa yang terjadi? Hanya sebagian kecil saja semua bantuan itu dapat dinikmati oleh keluarganya. Sedangkan bantuan modal setelah pelatihan yang diberikan tidak berbekas setelah satu bulan. Entah kemana dan untuk apa.

Suatu saat, program masyarakat mandiri sedang membuka kelompok baru. Ketika melihat banyaknya mitra yang bergabung dalam kelompok-kelompok, Ucup yang dulu dikenal ‘Ogah berusaha, mulai tergerak hatinya untuk mengikuti program. Banyak kontraversi dalam menanggapi masuknya ucup dalam kelompok. Ada yang dengan cara halus menolak, ada yang secara kasar menentang masuknya ucup dalam program. “bapak-bapak coba kita berikan kepercayaan kepada pak ucup, berilah kesmpatan untuk merubah nasib diri dan keluarganya. Lagi pula siapa lagi kalau bukun ucup sendiri dengan kesempatan yang kita berikan ? Suara pendamping program MM dengan nada pelan. Bukan kah Allah SWT telah berfirman bahwa” setelah kesulitan pasti ada kemudahan”. Atau dalan firma lainya “ Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, apabila kaum tersebut tidak mau mengubah nasibnya sendiri” tambah pendamping menyakinkan mitra lainya. Meski dalam hati pendamping bergejolak antara ragu dengan sosok ucup dengan kewajiban membantu keluarga ucup yang semakin hari semakin tidak menentu karena mertuanya sedang sakit.. Bukankah sebuah kemuliaan apabila kita menjadi perantara untuk orang menjadi lebih baik ? guman pendamping dalam hati untuk menyakinkan keputusannya.

Latihan kelompok pun mulai dilaksanakan selama 6 hari. Ucuppun mengikuti dengan serius tanpa ada keluhan apapun juga kelompoknya. Bahkan kelompoknya memberikan kepercayaan kepada Ucup untuk menjadi sekretaris kelompok karena dialah yang bisa menulis dan tulisanya bagus. Sebagai sekertaris, ucup mendapatkan modal lebih lambat dari anggotanya.

Saat yang nanti ucup tiba, modalpun pendamping berikan. Tidak lebih dari satu minggu setelah menerima modal, rumah ucuppun mulai dipenuhi bebagai jenis sandal dan pakaian. Ucup mulai berkeliling menawarkan dagangannya. Angsuran ke induk kelompokpun mulai lancar, sayang ucup tidak gemar menabung. Perhatian pendamping pun lebih ekstra kepada ucup.

Hari berganti hingga bulan. Apa yang dikawatirkan masyarakat pun terbukti sudah. Hampir dua bulan berusaha, ucuppun sudah mulai jenuh dan enggan belanja dan berkeliling. Kebiasaanya mulai kambuh. “Benarkhan pak Robi, dia mah emang malas!” kata bu Miok salah seorang mitra kepada pendamping. Modal yang telah diberikan secara perlahan habis untuk butuhannyasendiri. Bahkan setelah pendamping mendatangi keluarganya, ucuppun pergi tanpa pesan. Istrinya pun mengaku ucup tetap saja tidak pernah memberikan nafkah kepada anggota keluarganya. Istri,Anak dan ibu mertuanya sering kekurangan makan, ucuppun tiada mengetahui. Bahkan ketika ibu mertuanya meninggal, ucup masih asik dengan dunianya sendiri, tanpa ada yang berani menyentuh. Aginpun sedih ketika melewati bilik rumahnya yang makin tua. Hujanpun seakan berduka dan ingin mengguyur seluruh badan ucup yang kuat agak roboh dan tersadar kembali.