Bila kita akan membuat program, dalam kondisi kekinian Indonesia, manakah yang kita pilih: pemberdayaan atau santunan? Dua-duanya tentu pilihan bijak.
Tapi kalau anda hanya punya satu pilihan, manakah pilihan kita? Hmmm ….
Katakanlah ada donatur yang bersedia membiayai satu program. Bagaimana pilihan kita bila ternyata dia sudah menentukan pilihannya – misalkan pemberdayaan? Bila ternyata kita tengah fokuskan semua sumberdaya pada program santunan, apa pilihan kita?
Gambar diatas adalah contoh kerumitan yang harus kita hadapi selaku ‘middle man’. Seberapapun besar organisasi kita, kompleksitas tugas kita tidak berhenti. Sunatullahnya, kompleksitas bergerak seiring perkembangan organisasi.
Disatu sisi, kita butuh dana. Dan dalam contoh ekstrim diatas, donatur itu bak durian runtuh. Namun disisi lain, tidak semua kita selalu siap untuk semua kesempatan. Maksudnya kita tetap punya keterbatasan, entah SDM, waktu, peralatan, dana pendukung atau bahkan karena skala prioritas
Ketika menerima, kita sejatinya sedang memaksakan diri. Upaya keras adalah keharusan, tetapi memaksakan diri adalah hal yang sama kali berbeda. Kita sedang memperlebar medan pertempuran yang kita sadar kita tidak cukup punya daya dukung. Kita lebih kepada berharap Allah memudahkan semuanya.
Ketika menolak, kita dihadapkan pada resiko donatur melihat kita dari sisi lain, kita menolak ujian yang mungkin Allah jadikan pintu pembuka kesempatan lainnya. Dapat juga kita berhadapan dengan perbedaan internal.
Dalam banyak kejadian, dilema itu kita rasakan. Contoh pada saya: mustahik tetap menuntut bantuan lengkap a-z (santunan), sementara saya melihat solusi jangka panjang adalah bantuan terbatas + pemberdayaan. Serba salah. Dibantu, saya tak membantu dia lepas dari jerat masalah, dipaksakan dengan pendekatan saya, program akan tidak berjalan maksimal. Hasilnya sama.
Apa yang bisa kita kerjakan? Lakukan apa yang perlu kita lakukan. Pedomannya adalah tujuan. Dari sisi tujuan, manakah yang lebih mungkin mengantarkan kita. Semua ada resikonya, tapi konsensus internal seharusnya cukup meminimalkan resiko.
Idealisme harus ada, tapi dia dihati. Perhitungan matang adalah wilayah kerja otak. Ketiadaan salah satu atau penempatan yang salah membuka masalah yang tidak perlu.
Dalam contoh mustahiq diatas, saya memilih untuk memberikan bantuan terbatas. Dia memilih untuk meledakkan emosi atas keputusan saya. Resikonya: suara sumbang datang seperti lebah. Saya memilih tetap dengan keputusan saya. 2-3 kemudian istrinya menelpon untuk mengetahui cara mengambil bantuan terbatas. Sementara itu, pilihan pemberdayaan saya biarkan tetap terbuka, siapa tahu malaikat Allah datang mengetuk pintu esok pagi.
Tidak ada nikmatnya sama sekali menolak permohonan mustahiq, tak ada kenikmatan sama sekali menolak kesempatan. Tapi otak adalah wilayah analisa, bukan rasa kasihan. Dan fitrah manusia tidak akan pernah koyak oleh ulah keduanya.
Nilai kita ada keberanian memilih, bukan keberhasilan memilih pilihan yang benar, karena menentukan pilihan sudah merupakan sebuah kebenaran.
Akhee Herdie, Mbak Donna
Terima kasih untuk semuanya, untuk kesempatannya. Pilihan harus dan sudah diambil. Sejatinya hidup adalah memilih pilihan.
Batam, Mei 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment