Monday, July 14, 2008

Kisah Penebang Pohon

(by Hendro)

“ Kan Shu De Gu Shi”

Alkisah, seorang pedagang kayu menerima lamaran seorang pekerja untuk menebang pohon di hutannya. Karena gaji yang dijanjikan dan kondisi kerja yang bakal diterima sangat baik, sehingga si calon penebang pohon itu pun bertekad untuk bekerja sebaik mungkin.

Saat mulai bekerja, si majikan memberikan sebuah kapak dan menunjukkan area kerja yang harus diselesaikan dengan target waktu yang telah ditentukan kepada si penebang pohon. Hari pertama bekerja, dia berhasil merobohkan 8 batang pohon. Sore hari, mendengar hasil kerja si penebang, sang majikan terkesan dan memberikan pujian dengan tulus, “Hasil kerjamu sungguh luar biasa! Saya sangat kagum dengan kemampuanmu menebang pohon-pohon itu. Belum pernah ada yang sepertimu sebelum ini. Teruskan bekerja seperti itu.”

Sangat termotivasi oleh pujian majikannya, keesokan hari si penebang bekerja lebih keras lagi, tetapi dia hanya berhasil merobohkan 7 batang pohon. Hari ketiga, dia bekerja lebih keras lagi, tetapi hasilnya tetap tidak memuaskan bahkan mengecewakan. Semakin bertambahnya hari, semakin sedikit pohon yang berhasil dirobohkan. “Sepertinya aku telah kehilangan kemampuan dan kekuatanku. Bagaimana aku dapat mempertanggungjawab kan hasil kerjaku kepada majikan?” pikir penebang pohon merasa malu dan putus asa. Dengan kepala tertunduk dia menghadap ke sang majikan, meminta maaf atas hasil kerja yang kurang memadai dan mengeluh tidak mengerti apa yang telah terjadi.

Sang majikan menyimak dan bertanya kepadanya, “Kapan terakhir kamu mengasah kapak?”
“Mengasah kapak? Saya tidak punya waktu untuk itu. Saya sangat sibuk setiap hari menebang pohon dari pagi hingga sore dengan sekuat tenaga,” kata si penebang. “Nah, di sinilah masalahnya. Ingat, hari pertama kamu kerja? Dengan kapak baru dan terasah, maka kamu bisa menebang pohon dengan hasil luar biasa. Hari-hari berikutnya, dengan tenaga yang sama, menggunakan kapak yang sama tetapi tidak diasah, kamu tahu sendiri, hasilnya semakin menurun. Maka, sesibuk apa pun, kamu harus meluangkan waktu untuk mengasah kapakmu, agar setiap hari bekerja dengan tenaga yang sama dan hasil yang maksimal. Sekarang mulailah mengasah kapakmu dan segera kembali bekerja!” perintah sang majikan.

Sambil mengangguk-anggukan kepala dan mengucap terimakasih, si penebang berlalu dari hadapan majikannya untuk mulai mengasah kapak.
“Xiu Xi Bu Shi Zou Deng Yu Chang De Lu”
Istirahat bukan berarti berhenti.
”Er Shi Yao Zou Geng Chang De Lu”
Tetapi untuk menempuh perjalanan yang lebih jauh lagi.

Sama seperti si penebang pohon, kita pun setiap hari, dari pagi hingga malam hari, seolah terjebak dalam rutinitas terpola. Sibuk, sibuk dan sibuk, sehingga seringkali melupakan sisi lain yang sama pentingnya, yaitu istirahat sejenak mengasah dan mengisi hal-hal baru untuk menambah pengetahuan, wawasan dan spiritual. Jika kita mampu mengatur ritme kegiatan seperti ini, pasti kehidupan kita akan menjadi dinamis, berwawasan dan selalu baru!

Saturday, June 21, 2008

Semut, Laba-laba & Lebah



(by Aji)

Pernahkah kita memperhatikan tiga binatang kecil yaitu "semut, laba
laba dan lebah " ? Mungkin kita sependapat bahwa diantara ketiganya
semut lah yang paling rajin menghimpun makanan. Ia menghabiskan
waktu waktunya hanya untuk mengumpulkan makanan, sedikit demi
sedikit tanpa henti hentinya, terkesan sekilas sebagai mahluk rajin
Semut cenderung menghimpun makanan untuk persediaan, terkesan juga
ia rajin menabung !, walaupun pada kenyataannya usianya sendiri
tidak akan lebih dari masa waktu persediaan makanan yang
dihimpunnya. Namun "ketamakannya" sedemikan besar sehingga tak
jarang kita lihat semut yang berusaha dan sanggup memikul, membawa
sesuatu jenis makanannya yang mana ukurannya jauh lebih besar dari
ukuran badannya., walaupun belum tentu jenis bawaannya itu berguna
bagi dirinya, jadi asal bawa saja !

Lain halnya dengan laba laba, dengan profile yang menyeramkan dan
sarangnya atau rumahnya jelas bukan tempat yang aman bagi mahluk
lain, walaupun terlihat sarang laba laba itu indah dengan jalinan
yang simetri dan teratur juga umumnya sarang atau rumah laba laba
itu kebanyakan ditempatkan olehnya ditempat yang teduh .Pada
kenyataannya rumah atau sarang laba laba sangat rapuh ! Juga
sipenghuninya terkesan sebagai mahluk sabar, yaitu menunggu "tamu"
yang mampir kesarangnya. Apapun yang mampir atau singgah pada
sarangnya pasti akan disergapnya dan pasti mati. Kekejamannya itu
tidak sampai hanya sebatas itu, yakni jantannya selepas berhubungan
sex selalu dibunuh oleh betinanya.

Bagaimana dengan lebah ?, lebah sangat disiplin dan mengenal
pembagian kerja yang sangat baik, rumahnya atau sarangnya dibangun
dan ditata dengan baik yakni bersegi enam dan terbukti lebih kuat
dibandingkan dengan segi empat atau segi lima, juga sarangnya selalu
terjaga dari dari bahan bahan atau benda benda yang tidak berguna,
Kemudian yang dimakannyapun adalah dari sari bunga yang diolahnya
kemudian jadi madu dan lilin yang mana sangat bermanfat bagi
manusia. Ia hanya hinggap pada sari bunga dan memberi manfaat dan
menolong agar perkawinan putik dan sari bunga terjadi sehingga akan
menambah keasrian tanaman. Lebah tidak akan mengganggu bila tidak
diganggu, sengatnya hanya dipergunakan bila ia merasa terancam,
bahkan ternyata sengatannyapun dapat menjadi obat bagi penyakit
tertentu.

Pada kenyataannya sikap hidup manusia seringkali diibaratkan dengan
semut, laba laba atau lebah. Manusia berbudaya semut,senang
menghimpun dan menumpuk sesuatu berlebihan dan seringkali melewati
batas kenikmatannya, ia menggali ilmu tetapi tidak mengolahnya lebih
lanjut sehingga jiwanya tetap kering tidak berfaedah bagi
lingkungannya, ia menumpuk harta tanpa mengerti makna harta itu
sendiri, sehingga ia tetap saja seolah olah fakir, "aji mumpung"
adalah cara berpikirnya !
Manusia berbudaya laba laba tidak lagi butuh berpikir apa, dimana
dan kapan ia makan, tetapi yang ia pikirkan adalah "siapa hari ini
yang akan ia makan !" dan "apapun jenis makanan ia makan !".
Bangunan mental spritualnya lemah !, mudah hancur oleh tantangan
kehidupan dan oleh gangguan duniawi!

Sedangkan manusia yang berbudaya lebah jelas tidak akan mengganggu,
apalagi merusak, tidak akan sembarangan makan, makanannya sangat
tertentu dan baik "halalan tayiban", tidak pula menghasilkan sesuatu
yang sia sia selalu bermanfaat bagi sekelilingnya dimana dia berada,
dia tidak akan mampir atau singgah ditempat yang kotor dan maksiat
serta dia tidak akan menyebabkan kerusakan, keonaran, permusuhan
dimanapun dia bertempat tinggal atau singgah. Bangunan arsitektur
jiwa manusia yang benar adalah terdiri dari enam fundamen ,bagaikan
lubang pintu sarang lebah yang bersegi enam, yakni manusia yang
selalu mengamalkan secara konsekwen "6 Rukun Iman". Muhammad
Rasulullah SAW, pernah beramanat bahwa seorang "mukmin" itu hedaknya
seperti lebah. Bukankah dalam Alquran terdapat surat An Naml
(semut), An Nahl (lebah) dan Al Ankabuut (laba laba) ?




Mujahiddah



Beberapa hari lalu saya chatting dengan seorang rekan dari tanah sebrang. Ia seorang aktivis sosial seperti saya. Kami diskusi mulai dari kerjaan sampai keluarga, dari mimpi-mimpi yang kita dulu sampai kasus Muchdi PR. Yang paling panjang dibahas adalah posisi 'aktivis wanita', yang katanya sempet jadi bahan diskusi panjang dilingkungan kerjanya.

Masalahnya adalah: ketika sudah menikah dan memiliki putra, rekannya cenderung agak sulit bergerak bebas. Sementara pekerjaan yang mereka geluti itu gak pernah berhenti. Belakangan ini mereka agak keteteran. Serba salah, satu sisi potensi dan skill-nya masih belum selesai ditransfer, sementara cute little baby dan 'cute little baby's father' juga perlu 'pendampingan'.

Butuh waktu yang lama sebelum bisa menguraikan pandangan saya.

Saya kemudian mencoba mengajak dia kembali ke konsepsi awal. Bangunan Islam itu berdiri dengan masyarakat sebagai pijakannya. Masyarakat sendiri akarnya ada di keluarga. Jadi keluarga adalah pondasi Islam. Sedemikian strategis peranan keluarga, hingga Islam mengizinkan hukuman 'paling sadis' dalam sejarah manusia: rajam bagi penzina. Semua karena zina benar-benar tidak menyisakan apapun bagi keluarga kecuali kehancuran.

Dalam keluarga, peran ayah dan ibu berbeda. Ayah sebagai penopang keluarga, ibu sebagai pembentuk karakter terutama anak pada usia -0.5 tahun s/d 13-an tahun. Saya jelaskan bahwa saya pernah membaca jurnal penelitian psikologi yang menyebutkan karakter dan kecerdasan (sosial, intelektual dlsb) seseorang pada masa-masa golden age, 45 thn-an,  sangat dipengaruhi input yang diterima dari usia 0 - 10 tahun. Luar biasanya, pada usia 0-10 tahun itu, ternyata peran ibu sangat-sangat-sangat-sangat dominan.

Peran wanita (memang) krusial dalam Islam. Jadi adalah dipahami mengapa Islam 'cenderung' mendorong wanita untuk 'stay home for certain period'. Itu tidak ada hubungan dengan penghormatan pada wanita, pada kesetaraan gender, pada kesempatan yang sama. Tapi dorongan itu untuk pemenuhan fungsi yang tidak mungkin dimainkan oleh laki-laki secara sempurna.

Bagaimana dengan wanita yang berkarier, termasuk rekan aktivis tersebut? Menurut saya pribadi, itulah keunggulan wanita. Selain karena alasan ekonomi, mereka memahami bahwa ada potensi lain yang Allah titipkan yang dapat bermanfaat bila 'dibagikan' kepada masyarakatnya. Pada sisi pandang ini, wanita mengerjakan peran ekstra bersama pria untuk menunaikan perintah Allah: mewujudkan bangunan Islam. Sungguh mereka membagi potensi mereka untuk dua peran: pembentuk karakter dan kecerdasan dan penggiat dakwah.

Bila saya dalam posisi yang bisa menentukan, saya akan memilih mendorong wanita untuk segera mendampingi generasi penerus dan membebankan sisa tugas yang tersisa pada rekan pria lainnya, termasuk saya. Pun dalam posisi itu, dia akan tetap menerima haknya secara penuh. Soal kemudian sang ayah juga merasakan 'manfaat pendampingan' tersebut, itu adalah rejekinya.

Ini tidak ada hubungannya dengan profesionalisme. Dengan berlaku demikian, mereka tetaplah seorang profesional. Kita sedang berjuang, dan mereka pada waktu tertentu lebih dibutuhkan ditempat lain. Soal setumpuk pekerjaan yang kemudian tersisa, tenang saja, Allah ada disamping kita. Maksudnya bila kita ikhlas dan bersungguh-sungguh, akan ada jalannya.

Saya pikir tidak akan ada gunanya ketika kita berhasil mendirikan benteng yang sangat kuat dan indah, tapi kemudian kita menemukan generasi penerus kita, mereka yang akan memanfaatkan bangunan itu, justru tidak memiliki karakter yang diperlukan untuk berjuang.

Rekan saya nampaknya memahami sisi pandang saya.

Ketika bertanya bagaimana meyakinkan 'boss' dan rekan-rekannya soal itu, jawab saya semua itu adalah proses. Yang diperlukan adalah contoh. Kita bisa istiqamah dengan pandangan itu dan istiqamah membantu pekerjaannya yang tidak selesai agar semua yakin bahwa pendekatan itu memang bisa dilakukan.

Bagaimana dengan keluarga para pria, anak-anaknya? Saya pikir kita cuma harus nambah 1-2 jam saja dari aktivitas kita. Lagi pula Allah bukanlah manusia yang berfikir parsial. Ia akan mendidik keluarga kita pada saat kita bersungguh-sungguh membela agamaNya, Ia sudah mempersiapkan semuanya untuk kita, utuh dan lengkap.

Terakhir karena sudah mulai pagi, saya mengajak dia untuk mulai mendidik diri kami, saya dan dia, untuk melepas kepulangan mujahiddah kami dengan senyum dan perasaan bangga. Mulai mendidik pikiran kami bahwa setibanya dirumah, mujahiddah kami tidaklah beristirahat. Ia sedang berjuang dimedan pertempuran yang lain, perjuangan yang Allah titipkan khusus kepada kaumnya saja, termasuk istri-istri kami.

Batam, Juni 2008


Saturday, June 14, 2008

A New Hope



B2-1B adalah identifikasi resminya. Tapi 'Baby’ adalah nama panggilan kami untuk anak kambing yang lahir di BTS Tanjung Piayu Laut satu bulanan lalu.

Untuk urusan fisik, ia sama lucunya dengan anak-anak hewan piaraan yang lain. Raut muka, tindak tanduk dan loncatan-loncatannya benar-benar sebuah hiburan tersendiri. Tapi untuk kami di DSNI, ia juga representasi dari harapan akan bergulirnya program pemberdayaan masyarakat yang kami gagas.

Budidaya Ternak Sehat (BTS) adalah program pengembang biakan hewan ternak oleh individu maupun kelompok masyarakat diwilayah binaan DSNI Amanah. Program ini dilakukan dengan pendekatan bagi paron, bagi hasil. Anak ganjil milik peternak, anak genap milik kami.

Saat ini kami baru menyebar 6 ekor untuk pemberdayaan individu di Dusun Air Saga, Desa Pulau Abang, Kecamatan Galang, Batam. Selain itu juga ada 6 ekor lagi yang disebar untuk pemberdayaan kelompok di Tanjung Piayu Laut, Batam.

Sementara ini, kami juga tengah menyiapkan kandang untuk 100 ekor yang dijadikan bibit. Kandang ini akan menjadi sentral produksi dan distribusi untuk pemberdayaan diatas. Terletak ditanah seluas kurang lebih 3 hektar, kandang dilengkapi dengan aula, tempat menginap, kebun palawija dan kolam ikan. Bila selesai dikembangkan, kandang ini akan dijadikan lokasi wisata yang dilengkapi dengan jungle track dan aneka permainan outbond.

Kehadiran ‘Baby’ seakan menjadi penyejuk setelah didera penyakit dan kematian beruntun hewan-hewan yang kami sebar dilokasi pemberdayaan. Ada semangat baru, dorongan baru untuk impian besar. Seolah terbayang 1-2 tahun lagi ketika Agus dan rekan-rekanya menjual Baby untuk pendidikan putra-putri mereka.

Didepan kami hanya ada seekor anak kambing. Namun ia adalah representasi sebuah usaha kami untuk membantu masyarakat, menurut mampu kami, memberdayakan diri mereka.

Semoga ...

(by Prasetyo)



Friday, June 13, 2008

Renungan "Sebuah Kesuksesan"

(by Hendro Wibowo)

Saudara…

Suatu hari,seorang anak berusia 7 tahun.Bermain bergembira sambil lompat kanan-kiri dan berlari-lari dipekarangan rumahnya. Didinding rumah bocah berkulit putih berambut pendek itu,ditumbuhi beberapa jenis tumbuhan. Dinding utara, ada tumbuhan pisang dan pohon jeruk.Sianak kemudian mendekati kedua pohon itu. Sambil memperhatikan dedaunan dan ranting cabang jeruk. Tiba-tiba sianak kecil tadi melihat pada salah satu daun pisang, terdapat 2 buah telur ulat yang telah menjadi kepompong siap untuk menjadi kupu-kupu…

Pada salah satu kepompong,dia memperhatikan, ada sebuah benda sedang berusaha dengan sangat keras untuk keluar dari lilitan telur tersebut. Beberapa saat kemudian dia amati,mucullah kepala dari telur itu. Dengan segenap tenaga yang dimiliki, benda dari kepompong terus bergerak, dia terus mencoba untuk keluar dari cengkraman telur itu.

Dengan menahan kesakitan, muncullah sayap sebelah kanannya. Sesaat kemudian,sayap sebelah kirinya juga muncul.Benda tersebut jatuh ketanah. Dan dalam sekejab dia bangun sambil mengepakkan sayapnya terbang menghiasi halaman rumah bocah 7 tahun itu. Bocah tersebut terdiam terpensona melihat kecantikan kupu-kupu itu.

Sementara telur yang satunya lagi pun,ada sebuah benda yang akan keluar dari balutan tubuhnya. Sang bocah memperhatikan, calon kupu-kupu itu berusaha dengan keras untuk keluar.Menahan kesakitan yang luar biasanya. Lelaki kecil berkulit putih ini, merasa kasihan dan iba terhadap calon kupu-kupu. Sehingga dia mengambil sebatang lidi,dengannya dia merobek balutan kepompong. Akhirnya sikupu-kupu dapat keluar dari lilitan yang ada ditubuhnya dan jatuh ketanah. Namun sayang, kupu- kupu ini hanya dapat berdiri namun tidak dapat terbang sebagaimana temannya yang lain…

Saudara Seperjuangan…

Demikian juga dengan kehidupan kita. Untuk mendapatkan kesuksesan, kita membutuhkan proses menuju kesana.”Tidak ada sukses yang instan”. Sekali lagi saya ulangi “tidak ada sukses yang instan”, yang ada hanyalah Mie Instan dan susu Instan…he…he…

Dewasa ini, banyak saudara kita memilih jalan alternative untuk menggapai impiannya. Mendatangi kuburan, mbah dukun, menyembah pohon, judi dan benda-benda tertentu. Contoh nyata, sebagaimana yang terjadi dengan saudara kita di Aceh. Rumah bantuan tsunami dari BRR di buat secepat mungkin untuk jadi. Dari luar kalau kita perhatikan,rumah nya sudah layak untuk ditempati. Tapi didalamnya terdapat kerusakan didinding, lantai dan platfonnya. Ini adalah ulah dari oknum kontraktor yang tak bertanggung jawab. Menginginkan rumah kilat, agar bisa mendapatkan proyek lainnya…


“No pain no gain”
Tanyakanlah kepada para achiver-achiver, apakah mereka mendapatkan impian dan cita-cita mereka dengan hanya berpangku tangan?apakah mereka meraihnya dengan santai dan manis..?

Tidak,,,sekali lagi tidak. K Ronald dan K lily, instruktur NAC system. Selama tiga tahun tinggal dirumah kontrakan berukuran 4x5 meter. Andrie Wongso pernah menjadi Kuli bangunan. Ali sakti researcher BI, pernah menjadi kuli beras untuk menghidupi keluarganya di Malaysia, tinggal bersama istri bahkan tidak beralaskan kasur. Mohamad Yunus, selama 27 tahun berjuang, menyisakan uang gajinya dari kampus untuk para pengrajin disekitar tempat tinggalnya. Cris Gradner, pernah tingal ditempat rumah panti dan bekerja selama 6 bulan tanpa digaji…


Masih banyak contoh kisah nyata dari para achiver yang membuktikan, bahwa keberhasilan dan kesuksesan tidak diperoleh dengan instan. Kesuksesan itu adalah sebuah proses yang harus dijalani dan dinikmati.




Friday, May 30, 2008

Pilihan

Bila kita akan membuat program, dalam kondisi kekinian Indonesia, manakah yang kita pilih: pemberdayaan atau santunan? Dua-duanya tentu pilihan bijak.

Tapi kalau anda hanya punya satu pilihan, manakah pilihan kita? Hmmm ….

Katakanlah ada donatur yang bersedia membiayai satu program. Bagaimana pilihan kita bila ternyata dia sudah menentukan pilihannya – misalkan pemberdayaan? Bila ternyata kita tengah fokuskan semua sumberdaya pada program santunan, apa pilihan kita?

Gambar diatas adalah contoh kerumitan yang harus kita hadapi selaku ‘middle man’. Seberapapun besar organisasi kita, kompleksitas tugas kita tidak berhenti. Sunatullahnya, kompleksitas bergerak seiring perkembangan organisasi.

Disatu sisi, kita butuh dana. Dan dalam contoh ekstrim diatas, donatur itu bak durian runtuh. Namun disisi lain, tidak semua kita selalu siap untuk semua kesempatan. Maksudnya kita tetap punya keterbatasan, entah SDM, waktu, peralatan, dana pendukung atau bahkan karena skala prioritas

Ketika menerima, kita sejatinya sedang memaksakan diri. Upaya keras adalah keharusan, tetapi memaksakan diri adalah hal yang sama kali berbeda. Kita sedang memperlebar medan pertempuran yang kita sadar kita tidak cukup punya daya dukung. Kita lebih kepada berharap Allah memudahkan semuanya.

Ketika menolak, kita dihadapkan pada resiko donatur melihat kita dari sisi lain, kita menolak ujian yang mungkin Allah jadikan pintu pembuka kesempatan lainnya. Dapat juga kita berhadapan dengan perbedaan internal.

Dalam banyak kejadian, dilema itu kita rasakan. Contoh pada saya: mustahik tetap menuntut bantuan lengkap a-z (santunan), sementara saya melihat solusi jangka panjang adalah bantuan terbatas + pemberdayaan. Serba salah. Dibantu, saya tak membantu dia lepas dari jerat masalah, dipaksakan dengan pendekatan saya, program akan tidak berjalan maksimal. Hasilnya sama.

Apa yang bisa kita kerjakan? Lakukan apa yang perlu kita lakukan. Pedomannya adalah tujuan. Dari sisi tujuan, manakah yang lebih mungkin mengantarkan kita. Semua ada resikonya, tapi konsensus internal seharusnya cukup meminimalkan resiko.

Idealisme harus ada, tapi dia dihati. Perhitungan matang adalah wilayah kerja otak. Ketiadaan salah satu atau penempatan yang salah membuka masalah yang tidak perlu.

Dalam contoh mustahiq diatas, saya memilih untuk memberikan bantuan terbatas. Dia memilih untuk meledakkan emosi atas keputusan saya. Resikonya: suara sumbang datang seperti lebah. Saya memilih tetap dengan keputusan saya. 2-3 kemudian istrinya menelpon untuk mengetahui cara mengambil bantuan terbatas. Sementara itu, pilihan pemberdayaan saya biarkan tetap terbuka, siapa tahu malaikat Allah datang mengetuk pintu esok pagi.

Tidak ada nikmatnya sama sekali menolak permohonan mustahiq, tak ada kenikmatan sama sekali menolak kesempatan. Tapi otak adalah wilayah analisa, bukan rasa kasihan. Dan fitrah manusia tidak akan pernah koyak oleh ulah keduanya.

Nilai kita ada keberanian memilih, bukan keberhasilan memilih pilihan yang benar, karena menentukan pilihan sudah merupakan sebuah kebenaran.

Akhee Herdie, Mbak Donna
Terima kasih untuk semuanya, untuk kesempatannya. Pilihan harus dan sudah diambil. Sejatinya hidup adalah memilih pilihan.

Batam, Mei 2008

Monday, May 12, 2008

Makin sensitif yuk..

Apa tuh... sensitif ? Yang jelas bukan yang aneh-aneh. Tapi kepedulian kita sedang dipertaruhkan. Bayangkan, pemerintah negeri ini setelah 'menghilangkan' (baca : menggantikan ) minyak tanah, sebentar lagi akan menaikkan harga BBM. Memang masih debatable.. Tapi menutur saya yang paling logis adalah tidak naik. Bukankah negara harus melayani masyarakat ?

Teman-teman, abang, nona, mas, ukhti-akhi bapak sekalian telah berniat menjadi agent perubah sebagaimana tugas pendamping. Jadi kita harus paham dan peka terhadap kebijakan yang berpengaruh terhadap dampingan kita.

Bayangkan, masyarakat yang telah kita coba berdayakan dan hampir pada ujung kemandirian.. kemudian..... harus terkapar kembali karena kebijakan minyak tanah dan kenaikan BBM. Pedangang, tukang ojeg, bahkan karyawan dengangaji papas-pasan akan berfikir seribu kali untuk makan uenak.

Berbagi informasi, saya minggu tgl 11 mei 2008 mengukuti diskusi tentang 100 thn Kebangkitan yang diadakan oleh Pemda Kab Bogor dan dinas Pendidikan Kab Bogor yang bekerjasama dengan HTI. Salah satu pembicara nya adalah ibu Ri ni Saparini (anggota Tim Indonesia bangkit). Beliua cerita : Kebijakan Kenaikan BBM itu pemerintah mengasumsikan pendapatan masyarakat miskin minimal 1 jt (emang benar ya... orang miskin 1 juta pendapatan per bulan ?). Setelah mendapat subsdi BBM sebesar 100 rb, maka sesuai dengan kenaikan BBM maks 30%, hanya akan dipakai oleh orang miskin 40 rbuan. Jadi setiap bulan orang miskin surplus 50 rbuan (nabung)... benarkah ? Begitulah, kalo semua sektor strategis kita di jual kepada Asing..

Cukup dulu ceritanya... Ntar kita sambung lagi. Intinya, pasang telinga, mata, hati, untuk tidak lelah bekerja dan berdakwah di Masyarakat. Saya yakin.. teman-teman ahlinya.

Wassalam.

Ponco N (sang pendamping masyarakat)

Pendamping : Harus gunakan hati

Aww. Bu RW, ijin nongolya... Teman-teman dipenjuru angin surga. Saya kirim kisah seorang pendamping Masyarakat mandiri ketika harus mendampingi masyarakat. Semoga kisah ini dapat diambil ibrahnya. Oya, tulisan ini sudah pernah dimuat dalam buku yang diterbitkan DD judulnya kalo ndak salah pemberdayaan tiada henti. Salam.
Ponco Nugroho (Sang Pendamping Masyarakat)

UCUP BERUSAHA LAH

Ucup, begitulah panggilan lelaki umur 48 dari desa harkat Jaya Cigudeg, Bogor. Nama sebenarnya adalah Yusuf. Pria lulusan SMP ini tinggal bersama seorang istri, ibu mertua dan 5 orang anak yang usianya 8 – 13 tahun. Meskipun lulusan SMP ternyata ucup tidak memiliki perekrjaan selayaknya ijazah yang disandang, karena mayoritas warga di desa yang masih rawan tindak mkriminil ini adalah tidak sekolah dan lulus SD. Setiap hari istri ucup dan kelima anaknya bekerja sebagai pengembala kerbau milik tetangga demi mengharapkan 1-2 liter beras untuk dimakan hari itu.

Keluarga ucup tinggal disebuah gubuk bambu 6 x 7 m2 berlantai tanah. Anginpun engan masuk ke dalam rumah karena memang tidak menemukan lubang jendela. Ruangan didesain tanpa batas sedikitpun sehingga dari mana uucup berdiri maka seluruh ruangan dan aktivitas dlam rumah terlihati. Udara dalam rumah tidak bergerak, terkadang asap kayu bakar menyelimuti seluruh ruangan. Pengap dan lembab ditambah lampu yang ala kadarnya.

Apa yang dilakukan Ucup tiap hari ? rasa ingin tahu dari pendamping saat melintas didepan rumah yang sudah terlihat tua. Ucup lebih banyak hilir mudik antara rumah dan warung, untuk sekedar ngobrol sesekali meminta rokok dari warung dan teman diskusinya. Main karambol telah menjadi keahlian ucup karena hampir tiap hari diasah dan jumlah mobil yang pun mungkin dapat dihitung setiap hari dari warung langganannya.

Ucup, bukan sakit ingatan. Dia manusia normal tapi keperdulian kepada keluarganya jauh dari harapan masyarakat pada umumnya. Terkadang ada warga yang meminta ucup membersihkan kebun dengan upah Rp 8.000, dalam setengah hari. Apa yang diperbuat dengan uang hasil jerih payahnya ? Istri, anak dan ibu mertuanya hampir tidak pernah menikmati jerih payah kepala keluarga ini. Sehari bekerja, saat itu habis untuk membeli rokok dan menuruti kesenangan pribadinya. Wajar anak-anak ucup yang seharusnya sudah saatnya menikmati bermain di sekolahan dan belajar menulis namannya diatas kertas, semua masih buta huruf. Tiap hari harus membantu ibunya mengembala kerbau.

Suatu waktu, Ucup mendapat bantuan baik berupa uang, makanan, bahan sandang. Karena lulusanya dianggap tinggi oleh warga sekitar Ucup pun diikut sertakan dalam pembinaan keterampilan usaha warung dan pembuatan kripik pisang. Setelah menerima bantuan makanan dan sandang, anginpun seakan hendak berhenti karena ingin menyaksikan ucup memberikan nafkah kepada istri dan anaknya. Apa yang terjadi? Hanya sebagian kecil saja semua bantuan itu dapat dinikmati oleh keluarganya. Sedangkan bantuan modal setelah pelatihan yang diberikan tidak berbekas setelah satu bulan. Entah kemana dan untuk apa.

Suatu saat, program masyarakat mandiri sedang membuka kelompok baru. Ketika melihat banyaknya mitra yang bergabung dalam kelompok-kelompok, Ucup yang dulu dikenal ‘Ogah berusaha, mulai tergerak hatinya untuk mengikuti program. Banyak kontraversi dalam menanggapi masuknya ucup dalam kelompok. Ada yang dengan cara halus menolak, ada yang secara kasar menentang masuknya ucup dalam program. “bapak-bapak coba kita berikan kepercayaan kepada pak ucup, berilah kesmpatan untuk merubah nasib diri dan keluarganya. Lagi pula siapa lagi kalau bukun ucup sendiri dengan kesempatan yang kita berikan ? Suara pendamping program MM dengan nada pelan. Bukan kah Allah SWT telah berfirman bahwa” setelah kesulitan pasti ada kemudahan”. Atau dalan firma lainya “ Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, apabila kaum tersebut tidak mau mengubah nasibnya sendiri” tambah pendamping menyakinkan mitra lainya. Meski dalam hati pendamping bergejolak antara ragu dengan sosok ucup dengan kewajiban membantu keluarga ucup yang semakin hari semakin tidak menentu karena mertuanya sedang sakit.. Bukankah sebuah kemuliaan apabila kita menjadi perantara untuk orang menjadi lebih baik ? guman pendamping dalam hati untuk menyakinkan keputusannya.

Latihan kelompok pun mulai dilaksanakan selama 6 hari. Ucuppun mengikuti dengan serius tanpa ada keluhan apapun juga kelompoknya. Bahkan kelompoknya memberikan kepercayaan kepada Ucup untuk menjadi sekretaris kelompok karena dialah yang bisa menulis dan tulisanya bagus. Sebagai sekertaris, ucup mendapatkan modal lebih lambat dari anggotanya.

Saat yang nanti ucup tiba, modalpun pendamping berikan. Tidak lebih dari satu minggu setelah menerima modal, rumah ucuppun mulai dipenuhi bebagai jenis sandal dan pakaian. Ucup mulai berkeliling menawarkan dagangannya. Angsuran ke induk kelompokpun mulai lancar, sayang ucup tidak gemar menabung. Perhatian pendamping pun lebih ekstra kepada ucup.

Hari berganti hingga bulan. Apa yang dikawatirkan masyarakat pun terbukti sudah. Hampir dua bulan berusaha, ucuppun sudah mulai jenuh dan enggan belanja dan berkeliling. Kebiasaanya mulai kambuh. “Benarkhan pak Robi, dia mah emang malas!” kata bu Miok salah seorang mitra kepada pendamping. Modal yang telah diberikan secara perlahan habis untuk butuhannyasendiri. Bahkan setelah pendamping mendatangi keluarganya, ucuppun pergi tanpa pesan. Istrinya pun mengaku ucup tetap saja tidak pernah memberikan nafkah kepada anggota keluarganya. Istri,Anak dan ibu mertuanya sering kekurangan makan, ucuppun tiada mengetahui. Bahkan ketika ibu mertuanya meninggal, ucup masih asik dengan dunianya sendiri, tanpa ada yang berani menyentuh. Aginpun sedih ketika melewati bilik rumahnya yang makin tua. Hujanpun seakan berduka dan ingin mengguyur seluruh badan ucup yang kuat agak roboh dan tersadar kembali.

Tuesday, April 29, 2008

Haji Wan



Haji Wan. Demikian ia biasa dipanggil. Tidak ada yang istimewa dari penampilan lelaki peranakan cina melayu itu. Ia tinggal dikampung nelayan di kawasan Galang, Batam yang listriknya lebih sering mati dari hidup. Ia berprofesi sebagai toke, istilah yang digunakan untuk pengepul ikan dari nelayan.

Selain sebagai toke, ia aktif sebagai imam masjid bersama dengan seorang haji lainnya. Cara berpakaian menunjukkan ia memiliki pandangan berbeda dalam beberapa hal di wilayah hilafiyah dari masyarakat kebanyakan . Pun demikian, ia sangat dekat dengan masyarakat yang sangat menghormatinya.

Sekali lagi, tidak ada yang istimewa darinya kecuali cara ia mengajak masyarakat memakmurkan masjid di Ramadhan dan Idul Fitri. Sebuah cara yang luar biasa yang belum pernah saya temukan didusun-dusun nelayan di hinterland, setidaknya sampai saat ini.

Warga dusunnya bukanlah orang-orang yang pandai menabung. Selain karena kebutuhan hidup, pola masyarakat yang konsumtif seringkali menyebabkan penghasilan dari menangkap ikan tidak berbekas, kecuali untuk rumah dan perlengkapannya. Infaq Ramadhan dan Idul Fitri yang tidak telalu besar sangat merisaukan hatinya, ditambah dengan keluhan orang tua memenuhi tuntutan anak-anak mereka menjelang hari raya.

Mencoba mengatasi hal tersebut, lepas ramadhan tahun lalu ia menerapkan satu pendekatan yang unik.

Ia mengajak para nelayan yang biasa menjual ikan kepadanya berunding. Ia menawarkan diri untuk memotong Rp. 500 – Rp. 1000 dari setiap kilogram hasil penjualan mereka dan menyimpannya. Ia menjelaskan uang tersebut akan dikembalikan menjelang hari idul fitri tahun depannya.

Tak banyak yang berminat pada awalnya. Dari 40-an nelayan, 7 diantaranya bersepakat. Maka Haji Wan pun secara istiqamah memotong, mencatat dan menyimpan potongan hasil penjualan itu. Uang itu ia simpan dirumahnya, karena memang ia tidak memiliki alternatif lain.

Awal Ramadhan kemarin, ia membagikan hasil pemotongan selama setahun. Ia mengembalikan uang 2 – 6 juta rupiah kepada 7 nelayan tersebut seraya menekankan untuk menginfaqkan sebagian dari uang tersebut pada masjid, baik infaq ramadhan maupun sholat Idul Fitri. Mereka mendengarkan nasihat itu dan mematuhinya.

Pada perhitungan akhir, infaq ramadhan melonjak sampai tiga kali lipat dan infaq sholat Idul Ftri bertambah dua kali lipat. Ke – 7 keluarga nelayan tersebut juga secara nyata mampu merayakan hari raya tersebut dengan lebih baik. Kini, berbondong-bondong nelayan mendengar nasihatnya dan mengikuti jejak 7 nelayan terdahulu.

Pendidikan Haji Wan hanyalah lepas sekolah dasar, namun ia behasil menemukan kearifan dalam memahami masalah. Ia menggunakan apa yang ia miliki, ia mengambil tindakan menurut mampunya, beristiqamah dan akhirnya menghasilkan solusi cerdas bagi problematika masyarakatnya.

Mencoba menjadi Haji Wan, saya berusaha memahami apa yang ada dibenaknya ketika ia memulai upayanya tersebut. Saya berharap kita bisa menemukan intinya dan mengaplikasikannya dilingkungan kita. Pertanyaan-pertanyaan berikut menggelayut dikepala: potensi apakah yang sesungguhnya kita miliki? Potensi apa yang dimiliki oleh Haji Wan yang tidak kita miliki?

Apapun itu, Haji Wan menunjukkan satu hal: semua kita memiliki sesuatu untuk merubah keadaan. Kita tidak perlu menunggu hingga semua siap untuk memperbaiki keadaan. Haji Wan menggunakan posisinya sebagai toke sebagai alat berdakwah, bukan posisinya sebagai haji atau imam masjid. Ia tidak berdakwah dengan bicara, ia bertindak. Ia tidak cuma bicara ayat dan hadist, ia langsung mempraktekkannya.

Setiap membayangkan sosoknya, selalu terngiang kata-katanya: "Allah tidak berkehendak semua menjadi ustadz, maka lakukanlah sesuatu menurut cara dan mampu kita. Yang mulia adalah mereka yang melakukan, bukan yang hanya bicara, karena Rasulpun seorang pedagang".

Upaya apakah yang sudah kita lakukan minggu ini untuk umat? Marilah kita membayangkan pertanyaan itu Allah SWT ajukan pada kita dihari perhitungan kelak, seraya bersabda" Bukankah sudah kuberikan hartaKu padamu? Bukankah sudah kutitipkan ilmuKu padamu? Bukankah sudah kau dengar ucapan rasulKu untukmu? Bukankah telah datang fakir miskinKu kedepan pintu rumahmu?"

Pada hari itu, tak ada retorika yang bisa menyelamatkan kelalaian kita.


(sumber: www.dsniamanah.or.id)




Monday, April 28, 2008

Memilih Pilihan



Seorang rekan datang dan berdiskusi. Ia dilanda kebimbangan. Ia dipercaya untuk memperluas cakupan tanggung jawabnya. Tak bermaksud untuk menolak tugas dan tantangan, hanya saja ia ragu apakah ia punya yang diperlukan untuk tanggung jawab itu.

Mendampingi masyarakat memang pekerjaan luar biasa. Termasuk dalam parameter adalah karakter individu, satu faktor yang nyaris diluar jangkauan tangan. Menangani 350-an mesin produksi berteknologi tinggi ternyata tidak ada apa-apanya dibanding 2 kaki lima yang saya dampingi. Yang pertama mereka ikut mau saya, yang kedua saya ‘harus’ ikut mau mereka.

Saya baru 2 orang. Bisa saya bayangkan dinamika mereka yang mendampingi satu kelompok. Nah apalagi kalau yang harus didampingi adalah masyarakat satu desa? Wuaduh

Benturan bertubi-tubi dalam pendampingan seringkali membuat kita kelelahan. Diluar itu, sebagai individu, kita juga punya masalah yang tidak kurang pelik. Ketika keduanya bertemu, dan ketika tidak ada kawan berbagi, lengkaplah penderitaan.

Lalu, bagaimana bila saat itu pula, kita ‘terpaksa’ untuk menerima tambahan daftar tanggung jawab? Gimana juga kalau ternyata sebagian dari daftar itu masih benar-benar baru buat kita? Dan kita tiba-tiba memang bener-bener sendirian? Well, simpan daftar panjang penderitaan kita itu. Tambahkan kreativitas dan sedikit nekat, siapa tahu bisa jadi skenario sinetron 20 episode.

Cara Pandang
Sederhananya, hidup ini cuma memilih sepasang pilihan: maju atau mundur, kiri apa kanan, menolak atau menerima dan seterusnya. Sederhananya, kita tahu manfaat dan resiko dari setiap pilihan, Sunatullahnya pilihan harus diambil. Allah SWT siapkan semuanya untuk kita: masalah dan way out. Untungnya Allah SWT bukan seperti kita, kadang jail, ngasih masalah tanpa solusi.

Sewaktu training, kita punya pilihan: sungguh-sungguh or just having fun. Dan hasilnya memang tergantung niat awal. Kita tahu bahwa kita bisa beretorika, dapet satu-dua data ekspos habis-habisan, sisa waktu untuk jalan-jalan. Dan kita tahu kita bisa bener-bener jadi bongkar batu cari udang, sajikan data seperti adanya dan simpan ilmunya disaku (untuk bahan jualan training PRA di daerah) atau dihati untuk dibagikan.

Yang mungkin sering dilupakan adalah: baik becanda atawa serius, kedua-duanya nyaris mengkonsumsi energi dan waktu yang sama. Artinya kalu patokannya adalah “return on investment” maka menjadi serius adalah pilihan yang lebih bijak. Kecuali niatnya memang invest di bercanda.

Kepada rekan tersebut saya jelaskan, waktu dan energi yang kita habiskan untuk ‘memelihara’ rasa khawatir, takut, lelah dlsb adalah juga energi dan waktu yang bisa kita habiskan untuk melihat peluang. Pilihan pertama menghasilkan kekhawatiran lain, pilihan kedua menghasilkan jalan keluar.

Sekali lagi pilihannya sebenarnya sederhana: semua ada resikonya, keputusan memilih pilihan ada ditangan kita. Jadi bukan resikonya yang harus jadi fokus, tetapi alasan kita memilih pilihan. Pilihan apakah kita mau invest energi dan waktu berharga kita di kekhawatiran/ketakutan atau pada kesempatan / peluang.

Satu lagi, hasil dari pilihan cuma : berhasil atau gagal. Uniknya kebanyakan dari kita lebih suka fokus pada kegagalan, bukan keberhasilan, lebih takut pada kegagalan dibanding sukses. Padahal penciptaan manusia adalah sejarah ‘kegagalan’ yang berhasil.

Sel telur itukan ratu ja-im (jaga imej) and sel sperma itu raja maksa. Bayangin, dari lebih dari 30 juta (tigapuluh juta) sel sperma yang ‘menggoda’ sel telur, cuma SATU yang dipilih. Luar biasa ja-im !!!. Ternyata, kita semua ini hasil 30 juta kali usaha mengulangi kegagalan. Jadi, masih punya alasan untuk takut? menyerah? lemah?

Hey ... did I ring the bell ???

Pendamping memang luar biasa. Dia harus tetep jadi genset yang memotivasi orang lain meskipun bensin sudah kering kerontang. Tapi demikianlah Allah SWT meninggikan manusia sebagian atas lainnya. Mudah saja buat Dia untuk membuat kita selalu senang. Tapi sekali lagi, Dia adalah Ia yang memiliki skenario maha unik. Seperti kata mas Rano (eh ... atau mas Ponco), pada penciptaan kupu-kupu ada pelajaran penting: Ia berikan yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.

Jadi kalau Allah gelontorkan masalah didepan kita, sementara orang lain adem ayem toto tentrem raharjo, Ia tidak sedang bermain-main. Ia sedang meninggikan kita. Pilihan akhirnya ada dikita: kita investasikan energi dan waktu menghadapi masalah untuk jadi lebih dekat denganNya. Atau berleha-leha dalam kenyamanan dibalik tirai tipis kebohongan keluhan-keluhan dan menjauh dariNya.

Ada satu kutipan sajak yang sangat memotivasi saya. Silahkan terjemahkan kedalam bahasa hati masing-masing karena saya tidak berani, kecuali untuk hati saya sendiri:

“ Two roads diverged in a wood. I took one less-travelled by. And that has made all the differences ...”

Hidup memang memilih pilihan. Nilai kita bukan pada pilihan yang kita ambil, tapi pada alasan mengapa kita memilih pilihan itu.

Batam, 28 April 2008

Tuesday, April 22, 2008

Pilihkan Untukku ...




Ya Rabb,
Inilah aku, bersimpuh di depan gerbang rumahMu
Membawa tubuh bertaburan butir-butir kedzaliman
Berbalut kufur atas nikmat yang Engkau sandangkan
Berbekal sisa-sisa harap, sudi kiranya Engkau mendengarkanku

Duhai Maha Mengasihi,
Telah lelah aku seharian menemani lalai nafsuku
Menari ditanah dunia mencari gunungan emas pusaka
Yang takkan mampu kubawa ke rumahMu
Yang tak ada arti diatas kepingan pingganMu
Berharap agar sekali saja beroleh debu singgasanaMu
Agar dapat kutegakkan bahu dihadapan manusia

Duhai Pemegang Segala Rahasia,
Telah Kau gerakkan qalbku melihat jalan yang kupilih kini,
Telah sekali Kau penuhi hatiku dengan keraguan atas rizkiMu
Telah sekali Kau biarkan aku berdiam dalam pekat kabut ketidak tahuan
Telah sekali Kau bisikkan kedadaku keinginan menguntai doa kepadaMu
Telah sekali Kau taburkan nikmat atas harapan-harapanku padaMu
Telah sekali Kau kuatkan azzamku memenuhi panggilanMu
Telah sekali Kau permudah kakiku berjalan menuju rumahMu

Duhai Sang Hanif,
Pilihkanlah untukku sekali ini lagi kata-kata
Yang apabila kurangkai menjadi doa
Mampu menghalau letih dalam taat mengabdi padaMu
Menjadi teman kala sendirian kecewa bergantung pada manusia,
kepada selainMu

Pilihkanlah untukku
Teman untuk menemaniku berjuang dijalanMu
Yang menghilangkan lelah dengan senyum dan tatapan cintaMu
Yang mengumandangkan ayat-ayat kauniah dan kauliahMu
Disetiap siang dan malamku, bagiku dan keturunanku

Pilihkanlah untukku
Jalan yang lebih Engkau sukai
Agar aku tetap sampai keharibaanMu
Diujung hariku

Batam, 22 April 2008

“… Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka, dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang dijalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar ….” (QS9:111)

Saturday, April 19, 2008

Pendamping



Mereka adalah orang-orang kebanyakan, yang memutuskan untuk mengabdikan waktu, tenaga dan potensi intelektual pada jalan pemberdayaan masyarakat. Mereka bukanlah malaikat atau seperti sekelompok orang yang menafikan kenikmatan semata untuk memuaskan keinginan berjumpa dengan RabNya. Mereka adalah orang-orang yang menikmati dunia pada salah satu sudutnya

Mereka adalah pemenang, yaitu orang yang sadar memilih sendiri jalan hidupnya, menerima resiko dan menikmati setiap detik perjalanannya. Mereka bukanlah orang tanpa beban, bukan yang bisa melawan gelombang. Mereka adalah manusia biasa, yang ditengah-tengah letihnya menyimpan keluhan untuk dihidangkan ketika berkhalwat dengan KhaliqNya sebagai panganan qalb yang sangat lezat

Mereka bukanlah orang yang banyak. Mereka adalah sebagian kecil dari kelompok orang-orang yang menjawab panggilan Allah SWT untuk memelihara, menegakkan dan meneguhkan AsmaNya direlung hati manusia yang tengah diuji dengan dengan kesempitan dunia. Mereka adalah orang-orang yang beroleh izinNya melihat sebuah sisi lain yang tak banyak dilihat kebanyakan manusia. Mereka adalah orang-orang yang ber-azam menjadi jalan terbaginya Rahmat pada saudara se-aqidah yang terlupakan dalam hiruk pikuk pencarian bekal dunia.

Mereka bukanlah orang yang tercerai berai. Mereka tahu bahwa mereka tidaklah sendiri. Mereka adalah orang-orang tetap menunaikan amanah menurut mampu yang Allah titipkan sembari bersabar menjalin ukhuwah bersama para pejuangNya yang Allah sebar dimuka bumiNya. Mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam memenuhi panggilanNya menjadi barisan yang tersusun rapih.

Mereka adalah orang-orang yang menepikan pinggan dunia yang Allah halalkan baginya, mengambil segenggam dan meninggalkan sisanya diatas meja penuh dengan orang-orang bertanya bagaimana Allah akan mencukupi kebutuhan mereka kelak. Mereka adalah orang-orang yang telah dan akan segera menemukan janjiNya akan kelapangan hati ditengah-tengah kesempitan dunia.